Bulan Ramadhan tahun ini memiliki kesan yang sangat istimewa bagi Vassilisa dan Therry.
Karena keduanya menjalankan ibadah di bulan suci mulai dari sahur, berbuka, dan sholat bersama-sama untuk pertama kalinya.
Vassilisa dan Therry bertemu di Indonesia Mengajar tahun 2018. Keduanya memiliki passion terhadap pendidikan dan pengembangan masyarakat. Therry dengan latar belakang Master of Piece and Conflict Resolution, bersama rekannya mendirikan sebuah organisasi nonprofit @kitabhinneka yang peduli terhadap pendidikan perdamaian dan anti kekerasan di Makassar. Sementara sekitar akhir tahun 2019, Vassilisa berangkat ke Inggris untuk menyelesaikan sekolah S2nya di bidang Media Practice for Development and Social Change sebelum akhirnya kembali ke tanah air pada tahun 2020 dan memutuskan untuk mengarungi bahtera kehidupan bersama Therry.
“Kami berdua memutuskan menggunakan tema laut untuk pernikahan karena saya pribadi memang suka dengan laut. Saat melihat laut terasa ada ketenangan, tapi juga sesekali ada ombak yang menyerang. Seperti kehidupan. Bersama Vassilisa, saya merasakan ada ketenangan baru menjalani kehidupan dan tantangannya.”
Bagi Therry, Ramadhan adalah bulan yang selalu dinanti. Momen yang dirindukan untuk berusaha menjadi yang terbaik di hadapan Tuhan. Dengan hadirnya Vasillisa sebagai pendamping, Therry pun melakukan diskusi untuk menyamakan persepsi ibadah tentang Ramadhan. Salah satunya adalah ketepatan waktu dalam menjalankan sholat.
Sementara bagi Vassilisa, ini merupakan kali kedua baginya menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Pertama kalinya, Vassilisa menjalani ibadah di Inggris. Tahun ini, pertama kalinya ia menjalani di Indonesia. Tak heran beberapa ritual ibadah masih terasa asing.
“Waktu di Inggris, kebetulan waktu puasa di awal tahun 2020 itu pas terkena lockdown, jadi kesempatan untuk bertemu dengan rekan sesama muslim hanya terbatas online. Karena saya pemula dan baru menganut Islam, ustadz di kajian online yang saya ikuti, mendorong saya untuk belajar bertahap, sebisa yang saya lakukan. Misalnya, jika umumnya umat muslim menjalankan sholat tarawih 8 rakaat, saya bisa lakukan 2 rakaat, kemudian pelan-pelan ditambah. Karena sendirian beribadah di rumah, saya fokus dengan apa yang bisa saya lakukan.
Ketika kembali ke Indonesia, berada di keluarga muslim, saya jadi membandingkan diri dengan lingkungan saya. Kalau saya tidak bisa mengimbangi jadwal sholat secara penuh itu saya merasa nilai rapor saya turun. Hahahaha…”
Therry pun tak henti-hentinya mengingatkan untuk tidak usah membandingkan diri dengan yang lain jika nilai pembandingnya tidak sepadan.
“Saya sadar Vassilisa masih proses belajar. Makanya saya selalu menanyakan kesiapannya ketika kami ingin melakukan ibadah bersama, misalnya saat sholat sunnah. Saya ingin ketika Vassilisa melakukan ibadah itu murni karena keinginannya terhadap Tuhan dan bukan karena suaminya. Bisa jadi apa yang dia lakukan di hadapan Tuhan, mungkin saja lebih diapresiasi oleh Tuhan. Karena energi yang dia lakukan untuk satu kali sholat lebih besar dibandingkan dengan saya.”
Vassilisa sendiri mengaku masih berusaha dengan ketepatan waktu ibadahnya selama di bulan Ramadhan.
“Satu hal yang saya apresiasi dari Therry adalah bagaimana dia selalu mencoba untuk tepat waktu dalam melalukan sholat. Jadi begitu adzan, dia langsung meninggalkan aktivitasnya dan ibadah. Nah di bulan Ramadhan ini, ternyata dia semakin tepat waktu, begitu adzan langsung jalan ke masjid. Saya masih suka ketinggalan.” ujarnya sambil tertawa.
Selain adaptasi dengan ibadah, baik Vassilisa maupun Therry juga mendapati kultural keluarga yang cukup berbeda. Vassilisa dibesarkan dengan kultur keluarga individualis, sementara Therry, kelahiran asli Makassar memiliki nilai kekeluargaan yang kolektif.
“Saya baru sadar, ketika saya menikah dengan Therry, saya memiliki keluarga baru yang cukup besar. Ada nenek, saudara, sepupunya sepupu, om, tante, dan sekitarnya. Mereka punya kebiasaan untuk menghabiskan waktu dengan makan bersama. Jadi ada sarapan, brunch, makan siang, snack, lalu makan malam. Sementara saya di keluarga saya, weekend masih kerja, lalu saya dan adik saya punya jadwal kerja yang berbeda, jadi jarang makan bersama. Dari sini, saya jadi belajar bahwa saya tidak lagi hidup untuk diri saya tapi juga berbagi waktu dengan keluarga yang lain.”
Dengan latar belakang keluarga yang cukup besar, Therry ternyata memiliki perspektif yang berbeda yang ia peroleh dari keluarga Vassilisa.
“Karena keluarga Vassilisa personelnya tidak banyak, komunikasi mereka jadi lebih intens. Saya sempat heran kalau dengar cerita Vassilisa tentang hubungannya dengan adiknya. Mereka bisa cerita apa saja, berdiskusi, dan opininya dianggap penting. Sementara kalau di keluarga saya, biasanya suara orang yang lebih tua akan lebih diutamakan. Jadi saya belajar ada kualitas hubungan yang berbeda di keluarganya.”
Vassilisa yang saat ini beradaptasi dengan identitas barunya, merefleksikan kembali makna ‘utuh’.
“Dulu, saya pikir utuh itu sebuah proses untuk menemukan diri menjadi penuh, secara holistik, lalu selesai. Ternyata proses menemukan dan menerima diri itu terjadinya berulang kali. Jadi posisi yang dimaknai utuh itu adalah yang terjadi saat ini, yang sedang saya jalani. Seperti saat ini, saya berusaha memahami identitas saya sebagai muslimah, istri, menantu dan cucu di keluarga suami. Proses ini akan berlangsung terus saat ada identitas dan amanah baru yang diberikan oleh Allah berikutnya.”
Therry dan Vassilisa kini tinggal di Makassar. Mengutip pesan Therry untuk Vassilisa saat pertama tiba di kota ini, Makassar adalah “tempat pelayaran sementara kita sebelum kembali berlayar kembali ke Allah.”
Dalam pelayaran tersebut, keduanya berbagi misi, aktif menjalankan organisasi non-profit Kita Bhinneka Tunggal Ika.
Please visit our contact page or WhatsApp us +62 81 331 916 912
WhatsApp us